Kamis, 08 September 2011

Peneliti Jepang Berhasil Membuat Retina

Tidak ada komentar:

Peneliti dari Jepang berhasil membuat retina dari sel induk embrio tikus. Menurut para peneliti di RIKEN Center for Developmental Biology, Kobe, Jepang, retina merupakan jaringan biologis terumit yang pernah mereka buat.
Jaringan yang dikembangkan tidak sekadar retina, tetapi lengkap dengan cawan optik, organ dua lapis yang terdiri dari retina dan lapisan luar sel berpigmen yang menyediakan nutrisi dan menyokong retina serta sel yang sensitif terhadap cahaya. Sel yang terakhir disebut mengirimkan informasi ke otak.
Pada saat pembuatan, ilmuwan sel induk embrio dalam campuran nutrisi dan protein. Sel itu berkembang menjadi sel retina. Awalnya, sel hanya berkembang menjadi rangkaian sel awal retina, tetapi kemudian perlahan berkembang menjadi cawan optik lengkap. Hal tersebut terjadi pada perkembangan embrio secara natural.
Ilmuwan masih belum dapat memastikan apakah retina buatan ini dapat mengirimkan informasi yang benar ke otak tikus. "Hal inilah yang akan kami teliti selanjutnya," kata peneliti. Jika tak ada masalah, ilmuwan akan beralih ke pembuatan retina manusia dari sel induk dari manusia pula.
Apabila uji coba pada manusia berhasil, artinya tersedia retina yang aman untuk ditransplantasi ke manusia. "Penyembuhan bagi banyak jenis kebutaan," ilmuwan menjelaskan. Meski demikian, masih butuh waktu beberapa tahun


Sumber : Kompas.com
selengkapnya [...]

Daun Buatan Bisa Lakukan Fotosintesis

Tidak ada komentar:

Berhasil diciptakan daun buatan yang bisa memproses sinar matahari dan air menjadi energi seefisien daun asli. Pada ajang National Meeting of the American Chemical Society, belum lama ini, peneliti dari Massachusetts Institut of Technology (MIT) mengumumkan keberhasilan mereka dalam membuat daun artifisial yang terbuat dari bahan-bahan yang stabil dan tidak mahal, tapi memiliki sifat seperti daun asli.
Daun artifisial menggunakan sinar matahari untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen yang dapat dipakai untuk menciptakan listrik.
Meskipun sifatnya mirip, jangan harap rupanya seperti daun natural. Daun artifisial ini dibuat dari silikon dan berbagai katalis yang memacu reaksi kimia untuk menghasilkan listrik. "Dengan ditempatkan dalam segalon air dan diletakkan di bawah sinar matahari, daun buatan ini dapat menyediakan listrik untuk keperluan mendasar di rumah," jelas Dr. Daniel Nocera
Daun ini bukan daun pertama yang bisa menirukan proses fotosintesis. Tapi percobaan-percobaan berikutnya menghasilkan daun yang terbuat dari bahan-bahan tidak stabil dan mahal serta tidak tanah lama. Nocera dan tim yang dipimpinnya membuat daun artifisial dari bahan yang tidak mahal dan umum, seperti nikel dan kobalt. Di laboratorium mereka, daun artifisial berukuran kartu remi dapat bertahan selama 45 jam tanpa penurunan kinerja.
Pada penelitian berikutnya Nocera akan berusaha meningkatkan efisiensi dan umur materi fontosintesis.


Sumber : Kompas.com
selengkapnya [...]

Kacamata Pembaca Ekspresi Orang Lain

Tidak ada komentar:

Para peneliti dari MIT dan Cambridge mengembangkan sebuah kacamata yang bisa membaca ekspresi wajah orang di hadapan pemakainya. Tak hanya itu, kacamata itu juga bisa membisiki penggunanya untuk bertindak sesuai dengan ekspresi wajah orang yang dihadapinya.
Kacamata cerdas ini dilengkapi kamera kecil dan komputer mini yang ditautkan di permukaan kaca. Keduanya berfungsi untuk memonitor ekspresi wajah lawan bicara. Berdasarkan data yang terkumpul, kacamata ini kemudian menerjemahkan emosi yang tertangkap dan memberi tahu suasana hati lawan bicaranya: bosan, bingung, atau marah.
Untuk mempelajari gerak pada wajah, kacamata futuristik ini juga mampu mengartikan informasi penting terkait suasana hati berdasarkan pola bicara, kelembaban kulit, dan bahasa tubuh.
Saat kacamata menangkap ada sesuatu yang salah, informasi tersebut akan dibisikkan ke telinga penggunanya melalui mikrofon yang terhubung. Jika pembicaraan makin tidak menyenangkan, maka kacamata akan mengeluarkan cahaya kecil berwarna merah yang artinya sudah saatnya berhenti bicara.
Saat ini, kacamata tersebut memang masih berupa prototipe dan masih dalam tahap uji coba. Meski begitu, diharapkan suatu saat nanti kacamata tersebut akan dapat diproduksi secara massal dan dikomersialkan.


Sumber : Kompas.com
selengkapnya [...]

Mirip Tato padahal Sensor Elektronik

Tidak ada komentar:


Perekayasa Amerika Serikat mengembangkan platform perangkat ultra-tipis yang fleksibel dan nyaman sehingga dapat ditempelkan di kulit bagaikan tato sementara. Perangkat tersebut bisa berfungsi sebagai sensor, membantu diagnosis medis, komunikasi, dan interface manusia-mesin.
Perangkat itu memiliki rangkaian elektronik yang tersusun atas sensor, transistor, kapasitor, antenawireless, LED, dan panel surya. Rangkaian tersusun di atas lembaran berbahan serupa karet yang mampu mengembang dan mengerut, menyesuaikan dengan kulit.
Lembaran dengan rangkaian elektronik tersebut dipasang pada plastik yang larut air. Untuk memasang, cukup berikan air dalam jumlah sedikit dan tempelkan perangkat di kulit. Seketika, perangkat akan menempel dan fleksibilitasnya bisa diuji.
"Menurut kami, perangkat ini adalah sebuah konsep maju tentang elektronik yang bisa dipakai untuk mencapai sesuatu yang tak pernah terpikir oleh pengguna," kata Todd Coleman, professor teknik komputer dan elektronik dari University of California di San Diego yang terlibat penelitian ini.
Ia mengatakan, teknologi ini adalah terobosan baru dalam elektronika. "Teknologi ini bisa menghubungkanmu ke dunia fisik dan dunia maya dengan cara yang sangat natural dan terasa nyaman," lanjut Coleman seperti dikutip situs Physorg, Kamis (11/8/2011).
Manfaat yang sudah bisa dibayangkan dari perangkat ini adalah pada bidang medis, seperti analisis EEG dan EMG untuk mengetahui aktivitas otot dan saraf. Untuk melakukannya, tak perlu lagi penggunaan gel konduktif, plester, dan pin yang ditanam sehingga lebih nyaman.
"Kalau kita ingin mengerti fungsi otak dalam kondisi yang natural, maka ini sangat tidak sesuai dengan prosedur EEG. Cara terbaik melakukannya adalah merekam sinyal saraf secara natural, dengan perangkat yang tak 'terlihat' oleh pemakai," kata Coleman.
Perangkat ini juga bisa dipakai selama aktivitas normal untuk memantau kesehatan dan kebugaran. Saat tidur, perangkat bisa dipakai memantau status kognitif dan perilaku. Sementara itu, bagi penderita gangguan saraf dan otot, alat ini bisa dipakai berkomunikasi dengan komputer.
Di antara beragam manfaat, salah satu yang sudah dibuktikan adalah kemampuan perangkat membedakan gerakan otot tenggorokan ketika manusia melakukan percakapan sederhana. Ilmuwan juga sudah membuktikan bahwa alat ini bisa dipakai untuk mengontrol video game.
John A Rogers dari University of Illinois, pimpinan proyek penelitian ini, dan grupnya, memang terkenal dengan pembuatan perangkat fleksibel. Namun, untuk menciptakan perangkat yang nyaman di kulit membutuhkan paradigma produksi yang berbeda.
"Perangkat yang bisa meregang buatan kami sebelumnya tak sesuai dengan mekanofisiologi kulit. Kulit sangat lembut tetapi permukaannya bisa kasar, dengan tekstur mikroskopik tertentu. Ini membutuhkan pendekatan dan prinsip desain yang berbeda," kata Rogers.
Dalam produksi perangkat ini, Rogers bekerja sama dengan Yonggang Huang dari Northwestern University untuk mengatasi kesulitannya. Mereka menciptakan geometri perangkat yang disebutfilamentary serpentine, yang dengannya rangkaian komponen bisa dibuat sekecil mungkin.
Huang mengungkapkan, "Di sini, penggabungan elektronika dan biologi adalah kuncinya. Semua pembuatan perangkat elektronik sulit dan kaku, sementara biologi lembut dan elastis. Ini dua dunia yang berbeda. Inilah cara untuk mengintegrasikan keduanya."
Untuk membuat perangkat ini secara massal, peneliti memakai adaptasi sederhana dari teknik yang digunakan dalam industri semikonduktor. Saat ini, mc10 (Roger ikut mendirikan industri itu) sudah siap memproduksi dan mengomersialkan produk tersebut.
Ke depan, peneliti masih akan mengembangkan produk ini dan menambahkan kapabilitas Wi-Fi. Hail penelitian Roger, Coleman, dan Huang dipublikasikan dalam jurnal Science yang terbit pada hari ini.


Sumber : Kompas.com
selengkapnya [...]

Ingin Tahu kalau Dua Robot "Chatting"?

Tidak ada komentar:

Apa jadinya jika dua robot ngobrolsatu sama lain? Mungkin jadi pengalaman tak biasa bagi yang melihat. Inilah yang disuguhkan oleh Cornell University Machine Lab lewat percakapan dua chatbot yang dikembangkannya.
Dua chatbot yang berwujud lelaki dan perempuan di layar kaca bercakap tentang bermacam hal. Diawali dengan pertanyaan standar seperti menanyakan kabar. "Apa kabar?" tanya satu robot. "Sangat baik, kamu?" jawab robot yang lain.
Pertanyaan mulai mengalir ke jati diri masing-masing. "Jadi, apakah kamu robot?" tanya salah satu robot. Robot lain menjawab, "Bukan, saya Cleverbot." Tetapi, robot sebelumnya bersikeras, "Ya, kamu sebenarnya robot dan namamu Cleverbot." Kemudian mengklaim bahwa dirinya unicorn.
Chatbot juga berbincang tentang Tuhan. "Apa arti Tuhan bagimu?" tanya robot satu. "Bukan apa-apa," jawab robot lain. Namun, robot yang bertanya menjelaskan, "Bukan apa-apa bisa berarti sesuatu. Contohnya, bukan apa-apa bisa setengah dari sesuatu."
Pertanyaan lain muncul lagi. "Jadi apakah kamu percaya Tuhan?" Robot lain menjawab, "Ya." Robot yang bertanya sebelumnya pun mengonfirmasi, "Jadi kamu Kristiani?" Robot lain pun menjawab, "Bukan". Selanjutnya, masih ada beberapa pertanyaan, di antaranya apakah ingin memiliki tubuh.
Tentu saja semua percakapan itu terprogram. Chatbot adalah program komputer yang diciptakan untuk "membius" manusia agar berpikir bahwa apa yang dilihatnya ialah nyata. Pengembangannya ialah rencana Cornell untuk ikut dalam 2011 Loebnoer Prize Competition in Artificial Intelligence.
Loebnoer Prize Competition akan digelar pada bulan 19 Oktober nanti. Masing-masing kontestan berlomba membodohi juri, membuat mereka berpikir sedang menyaksikan aksi manusia. Pemenang utama akan mendapatkan hadiah 100.000 dollar AS.
Seperti ditulis di Spectrum IEEE, Senin (29/8/2011), di luar untuk perlombaan, program komputer ini mungkin yang pertama yang menunjukkan kecerdasan buatan (artificial intelligence).



Sumber : Kompas.com
selengkapnya [...]

Ilmuwan Jepang Ciptakan Otak Transparan

Tidak ada komentar:

Ilmuwan Jepang berhasil menciptakan otak transparan. Dengan menggunakan larutan bernama Sca le, ilmuwan itu megubah otak putih tikus yang semula berwarna keruh menjadi sebening kristal. Otak transparan yang diciptakan bisa membantu ilmuwan melihat penanda fluorescent yang disisipkan pada tikus putih. Medical imaging memasuki era baru dengan penciptaan otak transparan ini.
"Penelitian kami saat ini memang fokus pada otak tikus, namun aplikasinya tak terbatas pada tikus maupun otak," kata Atsushi Miyawaki, peneliti RIKEN Brain Institute Jepang yang menciptakan otak transparan ini. "Kami bisa mengembangkan pemakaian Sca le untuk organ lain seperti jantung, otot dan ginjal serta pada jaringan dari primata dan sampel biopsi manusia," lanjut Miyawaki seperti dikutip National Geographic, Jumat (2/9/2011).
Sca le merupakan larutan yang terbuat dari bahan yang relatif sederhana. Komposisinya adalah urea (senyawa utama pada urin), gliserol (senyawa yang juga terdapat pada sabun) dan deterjen yang disebut Triton X. Untuk membuat otak transparan, organ otak direndam selama 2 minggu dalam larutan ini.
Tak seperti larutan lain yang juga digunakan untuk membantu melihat otak, Sca le tak menghilangkan penanda fluorescent. Selama ini, penanda fluorescent dipakai untuk membantu fluorescent imaging. Teknik fluorescent imaging sendiri digunakan untuk memetakan arsitektur otak, mulai jaringan saraf, pembuluh darah dan struktur lain.
Otak transparan yang diciptakan bisa membantu pemetaan arsitektur otak. Lebih luasnya, organ transparan bisa membantu pencitraan awal sebelum melakukan pencitraan yang lebih mahal seperti CT Scan dan MRI. Aplikasi untuk penanganan penyakit, dokter bisa menganalisa apakah perawatan yang diberikan benar-benar berdampak pada organ target. Ini hal yang belum bisa dilakukan sebelumnya dalam dunia medis.
Meski banyak manfaatnya, larutan Sca le tidak akan digunakan segera secara luas. Miyawaki mengatakan, Sca le saat ini masih terlalu toksik untuk digunakan. "Saat ini kami sedang mencari kandidat reagen lain yang memungkinkan kita mempelajari jaringan hidup dengan cara yang sama dengan transparansi yang lebih rendah," jelas Miyawaki. Penemuan Miyawaki dipublikasikan di Jurnal Nature Neuroscience, Selasa (30/9/2011) lalu.

Sumber : Kompas.com
selengkapnya [...]

Entri Populer

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

ANGGOTA BLOG SMPN 3 SAROLANGUN

Desain Oleh :